Kilas Balik Menjelang Hari Guru 2008
Senin, 24 November 2008“KAPAN SEKOLAH KAMI LEBIH BAIK DARI KANDANG AYAM” :
oleh Prof. Winarno Surahmad.
“Tanpa sebuah kepalsuan, guru artinya ibadah.
Tanpa sebuah kemunafikan,
Semua guru berikrar mengabdi kemanusiaan.
Tetapi dunianya ternyata tuli. Setuli batu.
Tidak berhati.
Otonominya, kompetensinya, profesinya
hanya sepuhan pembungkus rasa getir,”
“Bolehkan kami bertanya,
apakah artinya bertugas mulia
ketika kami hanya terpinggirkan
tanpa ditanya, tanpa disapa?
Kapan sekolah kami lebih baik dari
kandang ayam?
Kapan pengetahuan kami bukan ilmu kadaluarsa?
Mungkinkah berharap
yang terbaik dalam kondisi yang terburuk?”
“Ketika semua orang menangis,
kenapa kami harus tetap tertawa?
Kenapa ketika orang kekenyangan,
kami harus tetap kelaparan?
Bolehkah kami bermimpi di dengar
ketika berbicara?
Dihargai layaknya manusia?
Tidak dihalau ketika bertanya?
Tidak mungkin berharap
dalam kondisi terburuk,”
“Sejuta batu nisan
guru tua yang terlupakan oleh sejarah.
Terbaca torehan darah kering:
Di sini berbaring seorang guru
semampu membaca buku usang
sambil belajar menahan lapar.
Hidup sebulan dengna gaji sehari.
Itulah nisan tua sejuta
guru tua yang terlupakan oleh sejarah,”
lirik yang diucapkan dengan nada pilu oleh Winarno Surahmat tahun 2005 yang silam? Ya, ya, ya! Agaknya, lirik itulah yang membuat Wapres, Jusuf Kalla, tersentak.
Dalam konteks Indonesia, secara jujur harus diakui, menjadi guru bukanlah prioritas utama sebagai profesi hidup. Kalau dilakukan sebuah survey, bisa jadi profesi guru akan menempati urutan yang ke sekian. Kalau memang benar, hal itu tidak berlebihan, sebab apresiasi publik terhadap profesi guru belum sehebat dengan profesi lain yang lebih menjanjikan harapan hidup. Yang lebih ironis, sebagian mahasiswa yang masuk ke fakultas keguruan ditengarai lantaran “tersesat” setelah tak diterima di fakultas-fakultas favorit. Bahkan, konon, sebagian pelamar CPNS guru memiliki kualifikasi ijazah non-keguruan. Hanya lantaran memiliki akta IV di bidang keguruan, akhirnya mereka dinilai memenuhi syarat. Saya tidak tahu pasti, benar atau tidak tengara semacam itu, karena saya sendiri sejak kecil memang sudah bercita-cita menjadi guru, berkat sugesti yang begitu kuat dari guru-guru SD saya di sebuah kampung yang sunyi.
Memang bukan tugas yang ringan dan mudah untuk menekuni profesi sebagai guru. Selain mumpuni dalam menjalankan tugas-tugas institusi, mereka juga diharapkan mampu memiliki kepribadian terpuji sekaligus mampu bergaul secara sosial di tengah-tengah komunitas masyarakatnya. Mengingat demikian pentingnya keberadaan guru dalam membangun sebuah peradaban bangsa, sangat beralasan jika Kaisar Jepang pernah bertanya: ”Masih berapa guru yang tersisa di negeri ini?” pasca-peristiwa bom atom tahun 1945. Sang Kaisar justru tidak bertanya, berapa tentara yang tersisa. Agaknya, dia sangat mencemaskan kelanjutan masa depan Jepang seandainya negeri Matahari terbit yang sedang menghadapi masa-masa sulit semacam itu kehilangan figur seorang guru. Dengan kata lain, untuk mengumpulkan puing-puing peradaban Jepang yang hancur, guru dirangkul dan diposisikan secara terhormat dan bermartabat. Tak heran jika dalam perkembangannya kemudian, negeri Dai Nippon itu mampu menjadi salah satu “Macan Asia”, bahkan dunia.
Bagaimana dengan posisi guru di negeri kita? Dari sisi kesejahteraan, kehidupan guru memang sudah jauh lebih baik jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Apalagi, janji dan pasal dalam UU Nomor 14 Tahun 2005 (UU Guru dan Dosen) tentang tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok sudah terealisasi, kecuali guru yang bernasib kurang beruntung, termasuk saya; dapat sertifikat, tetapi tunjangan tidak cair-cair juga.
Meski demikian, apresiasi terhadap profesi guru tak hanya sebatas tunjangan finansial. Mereka juga membutuhkan rasa aman dan nyaman dalam menjalankan tugas-tugas profesinya. Sungguh menyedihkan ketika banyak kejadian kekerasan yang masih saja menimpa para guru. Tak jarang, mereka harus menerima ancaman kekerasan dari siswa atau pihak orang tua murid, ketika sedang menjalankan tugas. “Pembidaban” semacam ini, apa pun motifnya, jelas keliru dan tak bisa ditolerir. Taruhlah guru bersalah dalam mengambil keputusan, karena mereka juga manusia yang tak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Namun, sungguh tidak adil kalau guru lantas harus diperlakukan kurang manusiawi melalui tindakan-tindakan konyol dan kurang beradab. Ini tidak lantas berarti, guru mesti dibiarkan berbuat semaunya, karena sudah ada kode etik yang mengikat mereka dalam menjalankan tugas-tugas profesionalismenya. Dalam konteks ini, sungguh relevan lirik pilu Winarno Surahmat: “Apakah artinya bertugas mulia, ketika kami hanya terpinggirkan, tanpa ditanya, tanpa disapa.”
Yang tidak kalah menyedihkan, masih saja ada upaya sistematis untuk membungkam suara kritis para guru. Mereka tak segan-segan kena semprit kalau ikut-ikutan melakukan kontrol terhadap berbagai bentuk penyimpangan yang terjadi, seperti menyuarakan kecurangan ujian nasional, memperjuangkan nasib rekan sejawat yang teraniaya, atau memobilisasi guru untuk kepentingan-kepentingan politis.
Pada sisi lain, para guru juga mesti melakukan refleksi dan otokritik. Seiring dengan meningkatnya kesejahteraan, para guru juga harus berusaha meningkatkan kompetensi diri. Empat kompetensi guru, yakni kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial, sudah seharusnya tak hanya sekadar hafalan dan retorika belaka, tetapi benar-benar menyatu secara afektif dan mewujud dalam aksi nyata. Sungguh ironis jika rekan-rekan sejawat gencar berdemo menuntut kesejahteraan, tetapi justru mlempem setelah tuntutan mereka terpenuhi.
Sumber : http://sawali.info/2008